Selasa, 19 Januari 2016

Pembelajaran Menantang yang Berharga



Selasa, 19 Januari 2016
09.24

Pagi ini mengajar IPA di kelas 4A. Rencananya akan ada ulasan artikel dan nantinya setiap kelompok maju presentasi.

Lalu beberapa kali seorang anak laki-laki yaitu XX, keluar masuk kelas tanpa ijin bahkan tanpa rasa takut maupun bersalah. Hal ini sudah terjadi 2 minggu ini semenjak semester genap diawali.

Saya membiarkannya karena mungkin XX perlu beberapa waktu untuk nyaman di kelas saya, untuk merasa butuh dengan kelas saya. Tetapi tidak untuk hari ini, saya sudah cukup memberikan toleransi.
XX masuk kelas untuk ketiga kalinya, setelah dia keluar masuk tanpa ijin. Saya mencegatnya dan langsung menanyai, menegur dan menasehatinya. Saya juga dengan tegas menyatakan ketidaksukaan saya paa sikapnya. Kemudian saya mengumumkan di depan kelas...

“mulai hari ini, di kelas saya, tidak ada yang keluar masuk tanpa ijin. Jika ingin keluar kelas untuk keperluan seperti ke kamar mandi atau membuang sampah, silahkan, tetapi ijin dulu. Saya lo tidak melarang kalian untuk lari-lari atau ‘ndlosor2 di kelas’ selama tidak dalam kondisi pembelajaran yang membutuhkan kalian untuk tetap duduk, seperti diskusi, dialog interaktif dengan guru atau sedang mengerjakan ulangan. Diluar itu, saya tidak melarang kalau kalian ingin berpindah bangku, bertanya teman di mejanya dll.”

Saya lanjutnya KBM seperti biasa.

Lalu terdengar.... “Buuuu, XX nangis buuuu....”

Saya bilang, “iyaaa... gapapa....”

Saya pikir dia akan berhenti menangis dengan sendirinya jika saya berkata seperti itu.  Lalu saya kembali berpikir, bagaimana jika saya berada di posisinya?

Tidak seharusnya saya menasihatinya didepan teman-temannya, tidak seharusnya saya mengumumkan peraturan spontan saya didepan teman-temannya.

Apa yang telah saya lakukan? Tidak seharusnya seperti ini, saya harus menjadi orang yang dia percaya, karena saya adalah gurunya. Orang yang menjadi jembatan ilmunya. Jika ia membenci dan tidak mempercayai saya, maka say adalah guru yang gagal.

Saya menghampirinya, menyeka air matanya, memegang pundaknya, sambil berkata...

“XX sudah jangan menangis lagi, la kamu se keluar-keluar dari kelas, ibu kan jadi bingung. Jangan keluar-keluar lagi ya... Kalau mau ke kamar mandi atau kenapa-napa, bilang dulu ke ibu. Kan jadi jelas, kamu kemana. Wes, maaf yaa ibu tadi gitu ke kamu, wes ga usah nangis lagi...”

Dia memang sedang tersedu-sedu sepanjang saya berkata padanya. Saya mencoba begitu keras untuk sehalus mungkin menghadapinya. Mencoba meyakinkan dia bahwa saya tidak setuju dengan tindakannya dan sama sekali tidak membenci dirinya.

XX, ibu pikir mungkin kamu marah dan membenci seseorang, mungkin kamu memiliki permasalah lain, mungkin apa yang kamu lakukan adalah untuk mencapai  tahap ini, ‘lebih diperhatikan oleh seseorang’. Mungkin seperti itu, mungkin tidak.

Terimakasih telah memberikan pembelajaran dan maafkan saya yang masih belajar.

Kemudian...

“Buuuuu, XY nangis diganggu XA dan XB......”

Dalam hati, beneran? Apa bercanda?

Benarlah.....
XY saya tanyai dia diperlakukan seperti apa. XA dan XB saya tanyai apakah benar yang dikatakan XY dan mengapa melakukannya. XA dan XB berkata mereka bercanda terhadap XY karena dia buang sampah sembarangan.

Lalu saya berkata,

“Looh, kalau bercanda iku yang satu seneng yang lain juga seneng. Bukan yang satu seneng yang lain susah... Kamu (XY) bener buang sampah sembarangan?”
Ia mengiyakan. Pada intinya, mereka saya damaikan dengan saling meminta maaf dan saling mengingatkan untuk tidak bertindak semena-mena serta membuang sampah pada tempatnya.
Selesailah urusan, alhamdulillah ini lebih mudah dari awal...

[XX, XY, XA dan XB adalah anak lelaki]

Kemudian....

“Buuuuuu, XC nangiiiis gara-gara XY.......”

[XC adalah anak perempuan]

Gara-gara hal itu, XY yang awalnya agak rentan akibat kejadian sebelumnya, semakin rapuh dan akhirnya ikut menangis sambil menggebrak diding (yang terbuat dari triplek).

Saya membatin, hari ini ada apa?

Tapi saya langsung menghampirinya, menanyainya apa alasannya dan mencoba menenangkannya.
Saya mengambil laptop, menayangkan beberapa video untuk menghibur anak-anak. Saya kira percuma melaksanakan pembelajaran ditengah-tengah siswa yang sedang marah, bersedih dan tidak stabil.

Alhamdulillah, lima orang siswa tadi ikut tenang dan bersikap seperti biasa, walaupun terlihat sembab matanya.

Bahkan XX yang awalnya saya kira masih akan marah, malah menyapa saya sambil tersenyum, alhamdulillah (bahkan saya terharu didalam kelas).

Terimakasih banyak atas pembelajaran yang menantang hari ini, saya menantikan hari yang menantang ini. Saya pikir saya tidak akan bisa sebelumnya. Tetapi kemudian, saya bisa. Maafkan juga saya yang masih belajar ini.

Kembali saya ulang,


“Kita tidak tahu siapa diri kita sampai datang momennya.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar