Rabu, 13 April 2016

Sekolah sebagai tempat belajar bagaimana cara berlaku baik




Setelah semua pelajaran usai, di sekolah selalu dilakukan sholat berjamaah. Untuk kelas 4B kebetulan kelasnya lebih luas dari kelas yang lain, sehingga sholat berjamaah biasa dilakukan di belakang kelas.
Waktu itu saya menggantikan wali kelas untuk bimbingan sholat berjamaah.

Begitu Iqomah dikumandangkan, para siswa gaduh saling menunjuk siapa yang menjadi imam. Kemudian, seorang siswa memutuskan untuk bertanya kepada saya, siapa yang harus menjadi imam.
Saya lakukan secara acak dan menunjuk Rama sebagai imam.

Rama anak yang baik dan suka membantu, saya membatin kalau mungkin dia belum pernah atau jarang menjadi imam. Jadi dengan bertujuan untuk melatih Rama menjadi imam yang baik, saya menunjuknya. Bukankah seharusnya ini tujuan latihan sholat berjamaah di sekolah?

Begitu mengetahui bahwa dirinya ditunjuk sebagai imam, Rama merasa rendah diri dan berkata tidak bisa, juga suaranya tidak terlalu keras. Tetapi teman-temannya meyakinkan dia dengan berkata, “Ayo ma, kamu bisa! Berusaha gapapa!”

Saya tersenyum bangga dalam hati. Anak-anak ini telah berhasil mencari cara bersimpati pada temannya.

Dengan berat hati, Rama memulai sholat berjamaah sebagai imam. Saya menunggui di belakang shof. Semuanya lancar sampai pada rakaat terakhir, seharusnya Rama melakukan duduk diantara dua sujud, tetapi Ia malah takbir dan berdiri. Haikal menyadari adanya kesalahan dan berkata, “Subhanallah”, tanda mengingatkan kesalahan imam. Rama pun duduk kembali, tetapi langsung melakukan salam.

Teman-teman langsung gaduh dan menyalahkan Rama. Beberapa ada yang bertanya sambil tidak sabar, “Siapa sih yang nyuruh Rama jadi imam?”. Teman laki-laki langsung berkata, “He, bu Sofi yang nyuruh.”

Saya menengahi perdebatan,

“Jika imam sudah diingatkan tetapi masih salah, maka sholat harus diulang. Jadi silahkan mengulang sholat berjamaahnya tetapi dengan imam yang sama, Rama.”

Para siswa gaduh tanda tidak setuju, tetapi sholat tetap dilaksanakan. Rama sebenarnya sudah terlihat ‘sedih’, tetapi Ia mau melakukannya lagi. Saya pikir, dengan kesempatan kedua, Ia akan lebih berusaha terutama untuk memperbaiki kesalahan di kesempatan pertama.

Pada waktu itu, saya duduk di meja guru, di depan kelas. Saya juga tidak begitu memperhatikan sholat para siswa. Begitu sholat usai, beberapa siswa maju ke depan dan berkata,
“Buuu Rama nangis buu, anak-anak banyak yang sholat lagi.”

Karena sudah melebih jam pulang, saya mempersilahkan para siswa yang ingin pulang terlebih dahulu dan sengaja tidak segera menghampiri kerumunan anak lelaki yang mengitari Rama.
Saya sengaja ingin memperhatikan apa yang mereka coba lakukan pada Rama.

Samar-samar terdengar Haikal berkata,

“Nggak papa ma, aku dulu pas pertama kali ngimami juga salah kok. Malah rakaatnya jadi 5, hehe.”
Lalu, saya menghampiri mereka dan langsung duduk tanpa berkata-kata.

Zee berkata,

“Bu gapapa kan Rama salah? Kan yang penting sudah berusaha kan bu?”

Saya membalas,

“Yap, betul itu Ma! Kan sekarang masih latihan biar nantinya kamu bisa jadi imam yang bagus, kan kalo laki-laki harus bisa jadi imam. Gapapa sekarang salah, biar inget salahnya, terus besok-besok gak salah lagi.”

Lalu, Zaki menghampiri saya sambil berkata lirih,

“Bu, saya dulu juga pernah bu, waktu pertama kali jadi imam iku saya salah bu.”

Saya bilang, “Loh, yaudah Ki, bilang aja kamu pernah gitu, terus tenangin Rama, bilang gapapa Ma, kan masih belajar, gituuu”

Dia langsung duduk disebelah Rama dan menceritakan pengalamannya menjadi imam dan menenangkannya.

Anak-anak ini adalah manusia. Mereka bukan orang dewasa yang harus selalu dihukum jika mereka salah, mereka adalah anak-anak minim pengalaman dan pengetahuan. Anak-anak boleh melakukan kesalahan. Kesalahan adalah salah satu pembelajaran yang menjadikan mereka bisa memperbaiki diri.

Jika sekali bersalah lalu dengan sewenang-wenang mereka dihukum, tanpa melakukan tanya jawab pada si anak, menanyakan alasan-alasan mengapa Ia melakukannya, lalu mereka bisa belajar apa dari kesalahannya?

Mereka akan mempelajari bahwa, berbuat salah adalah hal yang memalukan dan menakutkan. Karena dipermalukan di depan temannya dan dihukum sewenang-wenang. Mereka akan selalu ragu dalam berbuat. Jika mereka ingin berbuat mereka akan selalu mengalami konflik diri, jika saya lakukan ini nanti jangan-jangan saya dihukum. Sehingga mereka selalu ketakutan saat akan berbuat sesuatu.
Kesalahan pertama anak hendaknya dimaklumi kemudian diberi dorongan untuk memperbaiki diri.

Insyaallah, saya meyakini akan lebih banyak lagi siswa yang dapat belajar cara berlaku baik terhadap teman.
Insyaallah, saya meyakinin akan lebih banyak lagi guru yang dapat membimbing siswa belajar cara berlaku baik.
Mewujudkan Pendidikan yang lebih baik untuk generasi terbaik bangsa tercinta, bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar